Total Tayangan Halaman

Senin, 09 Mei 2011

Politik (Pendidikan) Pancasila

KOMPAS, HALILI, Dosen Program Studi PKn, Universitas Negeri Yogyakarta.

Dihapuskannya Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan membawa konsekuensi ditinggalkannya nilai-nilai Pancasila (Kompas, 6 Mei 2011).

Eksistensi Pancasila, terutama dalam bidang pendidikan, dipengaruhi oleh politisasi Pancasila pada masa pemerintahan Orde Baru. Euforia keterbukaan di era reformasi memungkinkan banyak kalangan menggugat politisasi Pancasila tersebut.
Tahun 2002 sampai 2003, seputar perumusan UU Sistem Pendidikan Nasional, sesungguhnya tersedia momentum untuk merefleksikan urgensi ideologi nasional dalam politik pendidikan. Sayangnya, energi kita waktu itu lebih banyak dihabiskan untuk memperdebatkan pendidikan agama, dan nyaris mengabaikan isu lain, seperti liberalisasi dan komersialisasi pendidikan serta ignorasi Pancasila.
Pemerintah Orde Baru barangkali tidak menghitung bahwa politisasi Pancasila dalam rangka desukarnoisasi dan depolitisasi warga negara akan gagal total, yang pada akhirnya mempertaruhkan "kredibilitas" Pancasila dalam diskursus nasional. Desukarnoisasi dimulai segera setelah Soeharto mengambil alih kekuasaan. Politisasi untuk "menghapus Sukarno dari ingatan publik terus berlanjut". Sejak 1970 Komando Keamanan dan Ketertiban melarang peringatan kelahiran Pancasila 1 Juni.
Desukarnoisasi berlanjut melibatkan akademisi melalui "teori" pengaburan peran sejarah Sukarno. Sejak tahun 1978, Pemerintah Orde Baru menegaskan soehartoisasi Pancasila; dalam arti politisasi Pancasila melalui tafsir tunggal Pancasila versi rezim Soeharto.
Fase Pancasila di era rezim Soeharto inilah yang disebut Asvi Warman Adam (2009) sebagai gelombang rekayasa. Rekayasa yang dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru melahirkan dampak tak terbayangkan. Selain gagal mamaksa rakyat Indonesia melupakan Sukarno, pemerintahan Soeharto melahirkan trauma kolektif atas politisasi Pancasila.
"Kapok massal" tersebut melahirkan gugatan depolitisasi. Pancasila dipersoalkan secara formal, meski secara substantif merupakan konstruksi ideal filosofis sebagai ideologi negara.

Beban PKn?
Pancasila masuk sebagai mata pelajaran pada 1976, melalui subjek Pendidikan Moral Pancasila (PMP), menggantikan Civics (Kewarganegaraan). Kebijakan itu dapat dibaca sebagai bagian dari politisasi, dalam makna negatif. Politik pendidikan tersebut berorientasi pada indoktrinasi Pancasila yang ditafsir tunggal oleh pemerintah.
Pendidikan kewarganegaraan (civic education) yang sejak pemerintahan Sukarno sudah ada, dan dalam dunia pendidikan hampir seluruh negara dibelajarkan, orientasinya adalah pendidikan politik dan penguatan kapasitas politik warga negara. Sementara pendidikan Pancasila merupakan diseminasi ideologis untuk memperkuat nalar, rasa, dan laku ideoligis warga negara.
"Hilangnya" pendidikan Pancasila dari dunia pedagogis kita resmi sejak diundangkannya UU Sisdiknas, di mana pendidikan Pancasila, menurut Pasal 37, bukan lagi muatan wajib seluruh jenjang pendidikan. Subyek ideologis ini kehilangan locus formal dalam pembelajaran. Sesuai UU, beberapa perguruan tinggi "berani" menghapus pendidikan Pancasila dalam kurikulumnya.
Dalam realitas semakin merapuhnya fondasi ideologis bangsa, Pancasila dalam politik pendidikan mestinya dikukuhkan. Dua pendekatan perlu digunakan sekaligus: subyek dan integrasi. Pendekatan subyek artinya menjadikan Pancasila sebagai mata ajar khusus. Di level dasar dan menengah, dengan mempertimbangkan beban belajar siswa, Pancasila cukup dibelajarkan dalam satu dua kompetensi dasar dalam Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Di perguruan tinggi pendidikan Pancasila dapat dibelajarkan sebagai kurikulum wajib 2 SKS.
Adapun pendekatan integratif, artinya menempatkan orientasi pada Pancasila sebagai ideologi negara harus menyatu dalam berbagai subyek. Orientasi pada Pancasila bukan hanya beban PKn, tapi juga pendidikan agama, ekonomi, dan bahkan eksakta.
Tak banyak manfaat bila dalam PKn, pendidik menekankan orientasi Pancasila, sementara guru/dosen ekonomi menertawakan nilai Pancasila seperti keadilan sosial dan kegotongroyongan ekonomi (koperasi). Tidak efektif bila dalam PKn diinternalisasi nilai-nilai Pancasila, sedangkan dosen/guru Pendidikan Agama Islam mendoktrinkan qishash, sebagaimana digelisahkan para wali siswa di Jakarta belakangan ini.

HALILI
Dosen Program Studi PKn
Universitas Negeri Yogyakarta.

1 komentar:

  1. Pelajaran pendidikan pancasila sudah dihapus ya. makin luntur saja ini nilai-nilai luhur pancasila.

    BalasHapus