Total Tayangan Halaman

Sabtu, 21 Mei 2011

Pendidikan Karakter Sebagai Pilar Kebangkitan Bangsa

JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta masyarakat Indonesia untuk mengimpelementasikan tema Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) dan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) 2011, yakni 'Pendidikan Karakter Sebagai Pilar Kebangkitan Bangsa', dengan sub tema 'Raih Prestasi, Junjung Tinggi Budi Pekerti'.
Pendidikan karakter saat ini sangatlah penting. Pendidikan karakter sangat menentukan kemajuan peradaban bangsa, yang tak hanya unggul dan tetapi juga bangsa yang cerdas. Mengutip filsuf Yunani Aristoteles, SBY mengatakan bahwa ada dua penentu kemajuan bangsa. Pertama pemikiran dan kedua karakter.
"Mengapa karater manusia dan bangsa itu penting. Aristoteles pernah mengatakan bahwa ada dua keunggulan manusia yang disebut human excelence. Pertama excelence of tought atau keunggulan pemikiran. Kedua, excelence of character, kehebatan dalam karakter," kata SBY dalam sambutannya pada puncak Peringatan Hardiknas dan Harkitnas 2011, Jumat (20/5) malam, di Jakarta.
Ia menjelaskan, keunggulan di bidang pemikiran dan karakter bisa dibangun melalui dunia pendidikan. Karena itu, Indonesia harus memiliki pendidikan yang unggul dan berkualitas.
"Kalau kita pahami dengan seksama, kedua jenis keunggulan tersebut dapat dibangun dan dikembangkan melalui pendidikan. Oleh karena itu, saya ingatkan kepada para pendidik, baik formal maupun nonformal dan kita semua bahwa sasaran pendidikan bukan hanya kepintaran dan kecerdasan, tetapi juga moral dan budi pekerti, watak, nilai dan kepribadian yang tangguh, unggul dan mulia," ujar Presiden.

Senin, 09 Mei 2011

Politik (Pendidikan) Pancasila

KOMPAS, HALILI, Dosen Program Studi PKn, Universitas Negeri Yogyakarta.

Dihapuskannya Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan membawa konsekuensi ditinggalkannya nilai-nilai Pancasila (Kompas, 6 Mei 2011).

Eksistensi Pancasila, terutama dalam bidang pendidikan, dipengaruhi oleh politisasi Pancasila pada masa pemerintahan Orde Baru. Euforia keterbukaan di era reformasi memungkinkan banyak kalangan menggugat politisasi Pancasila tersebut.
Tahun 2002 sampai 2003, seputar perumusan UU Sistem Pendidikan Nasional, sesungguhnya tersedia momentum untuk merefleksikan urgensi ideologi nasional dalam politik pendidikan. Sayangnya, energi kita waktu itu lebih banyak dihabiskan untuk memperdebatkan pendidikan agama, dan nyaris mengabaikan isu lain, seperti liberalisasi dan komersialisasi pendidikan serta ignorasi Pancasila.
Pemerintah Orde Baru barangkali tidak menghitung bahwa politisasi Pancasila dalam rangka desukarnoisasi dan depolitisasi warga negara akan gagal total, yang pada akhirnya mempertaruhkan "kredibilitas" Pancasila dalam diskursus nasional. Desukarnoisasi dimulai segera setelah Soeharto mengambil alih kekuasaan. Politisasi untuk "menghapus Sukarno dari ingatan publik terus berlanjut". Sejak 1970 Komando Keamanan dan Ketertiban melarang peringatan kelahiran Pancasila 1 Juni.
Desukarnoisasi berlanjut melibatkan akademisi melalui "teori" pengaburan peran sejarah Sukarno. Sejak tahun 1978, Pemerintah Orde Baru menegaskan soehartoisasi Pancasila; dalam arti politisasi Pancasila melalui tafsir tunggal Pancasila versi rezim Soeharto.
Fase Pancasila di era rezim Soeharto inilah yang disebut Asvi Warman Adam (2009) sebagai gelombang rekayasa. Rekayasa yang dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru melahirkan dampak tak terbayangkan. Selain gagal mamaksa rakyat Indonesia melupakan Sukarno, pemerintahan Soeharto melahirkan trauma kolektif atas politisasi Pancasila.
"Kapok massal" tersebut melahirkan gugatan depolitisasi. Pancasila dipersoalkan secara formal, meski secara substantif merupakan konstruksi ideal filosofis sebagai ideologi negara.

Beban PKn?
Pancasila masuk sebagai mata pelajaran pada 1976, melalui subjek Pendidikan Moral Pancasila (PMP), menggantikan Civics (Kewarganegaraan). Kebijakan itu dapat dibaca sebagai bagian dari politisasi, dalam makna negatif. Politik pendidikan tersebut berorientasi pada indoktrinasi Pancasila yang ditafsir tunggal oleh pemerintah.
Pendidikan kewarganegaraan (civic education) yang sejak pemerintahan Sukarno sudah ada, dan dalam dunia pendidikan hampir seluruh negara dibelajarkan, orientasinya adalah pendidikan politik dan penguatan kapasitas politik warga negara. Sementara pendidikan Pancasila merupakan diseminasi ideologis untuk memperkuat nalar, rasa, dan laku ideoligis warga negara.
"Hilangnya" pendidikan Pancasila dari dunia pedagogis kita resmi sejak diundangkannya UU Sisdiknas, di mana pendidikan Pancasila, menurut Pasal 37, bukan lagi muatan wajib seluruh jenjang pendidikan. Subyek ideologis ini kehilangan locus formal dalam pembelajaran. Sesuai UU, beberapa perguruan tinggi "berani" menghapus pendidikan Pancasila dalam kurikulumnya.
Dalam realitas semakin merapuhnya fondasi ideologis bangsa, Pancasila dalam politik pendidikan mestinya dikukuhkan. Dua pendekatan perlu digunakan sekaligus: subyek dan integrasi. Pendekatan subyek artinya menjadikan Pancasila sebagai mata ajar khusus. Di level dasar dan menengah, dengan mempertimbangkan beban belajar siswa, Pancasila cukup dibelajarkan dalam satu dua kompetensi dasar dalam Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Di perguruan tinggi pendidikan Pancasila dapat dibelajarkan sebagai kurikulum wajib 2 SKS.
Adapun pendekatan integratif, artinya menempatkan orientasi pada Pancasila sebagai ideologi negara harus menyatu dalam berbagai subyek. Orientasi pada Pancasila bukan hanya beban PKn, tapi juga pendidikan agama, ekonomi, dan bahkan eksakta.
Tak banyak manfaat bila dalam PKn, pendidik menekankan orientasi Pancasila, sementara guru/dosen ekonomi menertawakan nilai Pancasila seperti keadilan sosial dan kegotongroyongan ekonomi (koperasi). Tidak efektif bila dalam PKn diinternalisasi nilai-nilai Pancasila, sedangkan dosen/guru Pendidikan Agama Islam mendoktrinkan qishash, sebagaimana digelisahkan para wali siswa di Jakarta belakangan ini.

HALILI
Dosen Program Studi PKn
Universitas Negeri Yogyakarta.

Selasa, 03 Mei 2011

Kemerdekaan dan Kepemimpinan

KOMPAS, Yudi Latif, Deputi Rektor Universitas Paramadina dan Direktur Eksekutif Reform Institute

Setiap proklamasi kemerdekaan Indonesia diperingati, bayangan kita segera tertuju pada sepasang figur sentralnya : Soekarno dan Mohammad Hatta. Dalam suasana friksi antarfaksi di sekitar proklamasi, Soekarno-Hatta tampil sebagai jangkar keyakinan, kepercayaan, dan persatuan.
Gerangan apakah yang membuat keduanya menjadi pusat teladan? Jelas, bukan karena keduanya tak punya cacat dan kekurangan. Tapi di atas segala cacat dan kekurangannya itu, keduanya memiliki modal terpenting sebagai pemimpin moral capital.
Moral dalam arti ini adalah kekuatan dan kualitas komitmen pemimpin dalam memperjuangkan nilai-nilai, keyakinan, tujuan, dan amanat penderitaan rakyat. Kapital di sini bukan sekedar potensi kebajikan seseorang, melainkan potensi yang secara aktual menggerakkan roda politik. Dengan begitu, yang dikehendaki bukan sekedar kualitas moral individual, tetapi juga kemampuan politik untuk menginvestasikan potensi kebajikan perseorangan ini ke dalam mekanisme politik yang bisa memengaruhi perilaku masyarakat.
Ditanya oleh Direktur Penjara Bandung ihwal "kehidupan baru" selepas bebas, Bung Karno menjawab: "Seorang pemimpin tidak berubah karena hukuman. Saya masuk penjara untuk memperjuangkan kemerdekaan, dan saya meninggalkan penjara untuk pikiran yang sama" (Soekarno, 1961).
Di tengah impitan depresi ekonomi dan represi rezim rust en orde pada dekade 1930-an, setegar baja Bung Hatta berkata: "Betul banyak orang yang bertukar haluan karena penghidupan, tetapi pemimpin yang suci senantiasa terjatuh dari godaan iblis itu." Lantas ditambahkan, "Ketetapan hati dan keteguhan iman adalah satu conditio sine qua non (syarat yang terutama) untuk menjadi pemimpin. Kalau pemimpin tidak mempunyai moril yang kuat, ia tak dapat memenuhi kewajibannya dan lekas terhindar dari pergerakan" (Hatta, 1998).

Mampu berempati
Tak hanya berbekal komitmen moral individual saja. Keduanya juga mampu berempati dengan suasana kebatinan rakyat seraya, memiliki kemampuan komunikasi yang efektif untuk menggerakkan mereka. Kemampuan Bung Karno dalam hal ini bahkan diakui oleh Bung Hatta. "Saudara Soekarno menjadi sangat populer dan mendapat pengaruh besar di kalangan rakyat karena kecakapannya sebagai orator dan agitator yang hampir tidak ada bandingnya di Indonesia ini."
Sementara itu, Bung Hatta sendiri menegaskan, "Menduga perasaan rakyat dan memberi jalan kepada perasaan itu ke luar, itulah kewajiban yang amat sulit dan susah. Itulah kewajiban leiderschap! .. Pergerakan rakyat tumbuh bukan karena pemimpin bersuara, tetapi pemimpin bersuara karena ada pergerakan atau karena ada perasaan dalam hati rakyat yang tidak dapat oleh rakyat mengeluarkannya ...Pemimpin mengemudikan apa yang sudah dikehendaki oleh rakyat. Itulah sebabnya maka pemimpin lekas dapat pengikut dan pergerakan yang dianjurkannya cepat berkembang."
Kekuatan moral capital itu pada akhirnya berkemampuan mengangkat partikularitas manusia ke tingkat yang lebih tinggi, yakni level politik yang berorientasi kebajikan bersama dalam rumah kebangsaan. "Bahwa keadaan bangsa" ujar Bung Hatta, "tidak ditentukan oleh bahasa yang sama dan agama yang serupa, melainkan oleh kemauan untuk bersatu."
Ditambahkan oleh Bung Karno, "Di seluruh negeri kita, yang kelihatan hanyalah kesukaran, kekurangan, kemelaratan. Di dalam keadaan yang demikian itulah kita memulai perjoangan kebangsaan kita ... Dengan kehendak yang membulat menjadi satu, ketetapan-hati yang menggumpal menjadi satu, tekad yang membaja menjadi satu, seluruh bangsa kita bangkit bergerak, berjoang untuk membenarkan, mewujudkan proklamasi 17 Agustus itu."
Belajar dari kedua mahaguru bangsa tersebut, setidaknya ada empat sumber utama bagi seorang pemimpin untuk mengembangkan, menjaga, dan memobilisasi moral capital secara politik. Pertama, basis moralitas, menyangkut nilai-nilai, tujuan serta orientasi politik yang menjadi komitmen dan dijanjikan pemimpin politik kepada konstituennya. Kedua, tindakan politik; menyangkut kinerja pemimpin politik dalam menerjemahkan nilai-nilai moralitasnya ke dalam ukuran-ukuran perilaku, kebijakan, dan keputusan politiknya. Ketiga, keteladanan; menyangkut contoh perilaku moral yang konkret dan efektif, yang menularkan kesan otentik dan kepercayaan kepada komunitas politik. Keempat, consensus building, kemampuan seorang pemimpin untuk mengkomunikasikan gagasan serta nilai-nilai moralitas dalam bentuk bahasa politik yang efektif, yang mampu memperkuat solidaritas dan moralitas masyarakat.

Terlalu sedikit panutan
Dalam suasana peringatan kemerdekaan sekarang, sosok kepemimpinan kedua pahlawan tersebut perlu diungkap. Sulitnya pemulihan krisis yang Indonesia hadapi hari ini terutama bukan karena defisit sumber daya dan orang pintar, melainkan karena bangkrutnya moral capital para pemimpin politik.
Terlalu sedikit panutan dan terlalu banyak pengkhianat membuat jagat politik kehilangan pahlawan. Tatkala nama pahlawan disebutkan, kita terpaksa harus menoleh ke batu nisan. Pahlawan telanjur dikuburkan, meninggalkan jagat politik dalam kealpaan panduan. Mereka yang mendambakan teladan terpaksa harus mencari di dunia rekaan.
Jika ada yang paling salah dalam proses pembelajaran politik di negeri ini, tak lain bahwa pahlawan selalu ditempatkan di kesilaman, tak pernah dihadirkan di kekinian pentas politik. Kita telanjur mendefinisikan politik sebagai arena kecurangan, yang tidak memberi tempat bagi persemaian para pahlawan. Dalam penghayatan politik kita, pahlawan selalu merupakan pertanda kematian, tidak pernah menjanjikan kehidupan. Jalan politik menjadi jalan pengkhianatan, sedangkan kerancuan politik menjadi kewajaran yang dipertahankan. Maka, Indonesia menjadi terkenal di pentas dunia karena capaian yang salah.
Saat kemarau keteladanan, peringatan kemerdekaan semoga membawa siraman daya moralitas yang memberi kesuburan baru bagi kehidupan negeri!

YUDI LATIF
Deputi Rektor Universitas Paramadina dan Direktur Eksekutif Reform Institute