Total Tayangan Halaman

Selasa, 18 September 2012

Kembali Ke Indonesia 1945

Kompas
SAID AQIL SIROJ
Ketua UMUM Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama

Ini anugrah dari Tuhan untuk mengujiku apakah aku mensyukurinya atau mengingkarinya. 
Nusantara ialah keajaiban Indonesia. Menatap luas laut dan daratan dalam dimensi ruang saja sudah membuat kita tertegun. Dari arah terbit matahari Merauke hingga terbenam di langit Sabang, terpencar ribuan pulau dan arus samudra.
Bila tatapan terhadap luas Nusantara itu diulur dalam dimensi waktu, kita pun akan bergetar. Betapa ratusan juta orang dengan beragam perbedaan khazanah hidup bisa terangkai dalam dan atas nama Indonesia. Dari waktu ke waktu, ratusan juta orang itu jatuh-bangun dalam proses panjang menjadi "Manusia Indonesia".
Apa gerangan yang mengalasi kesatuan Indonesia? Inilah pertanyaan yang menarik banyak pihak untuk menjawabnya.
Jawaban atas pertanyaan itu muncul dalam banyak hasil riset ataupun refleksi. Telah begitu jelas bahwa membayangkan Indonesia nyaris mustahil tanpa sekaligus mengandaikan Pancasila.
Tak hanya sebagai dasar dan ideologi negara yang berhilir pada tertib tata negara, Pancasila menjelma sebagai falsafah hidup yang memungkinkan warga bangsa menyelenggarakan tertib sosial-budaya. Nah, jika wilayah Nusantara saja sering disebuat sebagai penggalan surga (qit'ah min al jannah), bukankah Indonesia dan Pancasila lantas ialah anugerah yang sungguh besar tak terkira?

Pancasila adalah asas
Dalam berusaha mensyukuri anugrah itu. Nahdlatul Ulama (NU) selalu bersikap tegas. Sebagaimana disepakati dan diserukan dalam Musyawarah Nasional (Munas) Situbondo 1983. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 merupakan bentuk final. NU tak ragu mengambil pilihan sejarah sebagai perintis ormas keagamaan yang menempatkan Pancasila sebagai asas.
Tahun 1992, sikap tegas itu dikukuhkan lagi melalui Rapat Akbar Kesetiaan pada Pancasila. Saat itu pula NU mendorong negara untuk memperkuat kekuatan militer dan badan intelijen demi kedaulatan nasional. Sebagai tanggung jawab atas nikmat kemerdekaan, mempertahankan Republik hasil Proklamasi dengan biaya berapa pun adalah keniscayaan.
Namun, setiap anugerah selalu datang dengan disertai ujian. Ayat yang saya kutip di atas menegur manusia yang berkecenderungan lupa dan ingkar atas segala bentuk nikmat dan karunia. Padahal, rasa syukur penting artinya untuk menjaga kontinuitas sejarah bangsa ini.
Allah bersabda, siapa yang bersyukur akan bertambah nikmatnya. Akan tetapi siapa yang mengingkari nikmat Allah sesungguhnya akan mendapat siksa yang amat pedih. Dalam konteks kebangsaan, jika kita bersyukur, nikmat keindonesiaan akan terus dilipatgandakan. Jika diingkari, balasannya adalah azab yang amat pedih. Azab itu bisa berupa bencana alam hingga bencana sosial, politik, dan ekonomi.

Kembalikan Pancasila
 Hari-hari ini, istilah Pancasila bagi sebagian pihak mungkin terasa hambar diucapkan. Pada satu sisi, masih ada konotatif tirani dalam frasa Pancasila. Selama tiga dekade, Pancasila diperalat sedemikian rupa oleh rezim diktator guna membungkam suara-suara kritis secara represif. Di sisi lain, kini ketika kebebasan seolah dirayakan, Pancasila justru acap dilukai dan diancam.
Bagi sebagian yang lain, Pancasila mungkin dianggap biasa-biasa saja meski bagi bangsa lain Pancasila sering dianggap sebagai temuan dan capaian luar biasa.
Kehambaran atas Pancasila diperparah dengan tumbuhnya sejumlah ideologi ekstrem yang berwatak subversif. Jika dibiarkan, para ekstremis bisa saja memerosokkan negeri ini dalam konflik yang berkepanjangan atas nama agama.
Di sisi lain, sejumlah kelompok yang berhaluan liberal, dengan dalih kebebassan, berusaha melonggarkan aturan dan tata tertib kenegaraan, termasuk menggerogoti kekuatan TNI dan membatasi gerak badan intelijen. Kelompok liberal tidak terlalu peduli pada ancaman keamanan nasional, sesuatu yang justru mendasar dalam politik kenegaraan dan kebangsaan.
Cuaca keindonesiaan memang sedang ditarik-tarik secara ekstrem dari kiri-kanan. Terhadap itu semua, NU memilih berbeda pendirian. NU tetap istiqomah dengan pendirian tawasuth (moderat). Posisi moderat sejak awal dipilih oleh NU antara lain, sebagai praksis politik kenegaraan dan kebangsaan. Posisi moderat memungkinkan NU untuk bersikap kritis sekaligus akomodatif, sepanjang orientasi akhirnya adalah kemaslahatan umat.
Karena itulah, selama 14-17 September Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU akan membahas sejumlah hal mendesak yang berkaitan dengan undang-undang yang berpotensi merugikan kemaslahatan rakyat. Di antaranya seperti UU Minyak dan Gas, UU Penanaman Modal Asing, UU Air, dan UU Sistem Pendidikan Nasional.
Akan dibahas pula tema-tema semacam praktik risyah (suap) dalam politik, hukuman bagi koruptor, hingga hukum mengenai ekonomi kerakyatan. Tentu semuanya ini didasari pamrih guna menjaga keutuhan NKRI dan kelestarian Pancasila. Muara akhirnya adalah mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Penegasan sikap NU terhadap ideologi Pancasila dan moderat dalam berbangsa ini telah dipraktikkan para ulama NU terdahulu. Pada masa perjuangan kemerdekaan, Rais Akbar KH. Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa jihad menghadapi agresi Belanda sehingga dikenal sebagai Hari Pahlawan. Artinya, sikap tegas dalam membela negera telah ditunjukkan oleh ulama sejak awal kemerdekaan.
Ketika ideologi negara mendapat ancaman, NU berusaha kembali menunjukkan sikap tegas. Kehadiran belasan undang-undang yang terlalu liberal tidak saja makin menjauhkan kesejahteraan dari rakyat, yang -diakui atau tidak- sebagian besar adalah warga NU, juga membuat kedaulatan negara semakin terkikis.

Kembali ke khitah
Maka, dalam perhelatan yang digelar di Pesantren Kempek Cirebon ini, NU mengangkat tema "Kembali ke Khittah Indonesia 1945". NU mengajak kembali pada semangat Proklamasi untuk membangun Indonesia yang merdeka, dan berdaulat. Kembali pada nilai-nilai luhur Pancasila dan juga kembali pada amanat Mukadimah UUD 1945.
Dari situ pula NU, mengajak semua pihak mengevaluasi proses perjalanan bangsa ini. NU setuju kebebasan perlu dibuka agar muncul kreativitas dan tanggung jawab. Kebebasan bukan untuk memberikan ruang kebebasan kepada kelompok subversif, entah yang fundamentalis maupun liberal. NU tidak bersikap sangat tertutup (eksklusif), tetapi juga tidak terlalu terbuka (permisif).
Terhadap kebebasan terdapat kaidah fikih yang bisa jadi pedoman, yaitu mendahulukan upaya mencegah kerusakan ketimbang meraih kebaikan.
Akhirul kalam, sekali lagi, terhadap nikmat keindonesiaan ini, semoga kita digolongkan sebagai kaum yang pandai bersyukur, bukan faksi yang berlaku kufur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar